Ambil CUKUP dan Habiskan
Swasembada pangan merupakan hal yang
dicita-citakan oleh segenap pihak, khususnya bagi bangsa Indonesia. Suatu hal
yang akan menjadikan Indonesia berdaya dalam ketahanan pangan. Beberapa fakta
menunjukkan dengan keadaan geografisnya yang strategis serta kesuburan lahan
yang dimiliki, bangsa Indonesia sejatinya memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam negrinya sendiri. Praktis hanya sedikit bahan pangan
yang seharusnya di impor oleh pemerintah dan bahan pangan tersebut merupakan
porduk yang pada dasarnya tidak bias kita penuhi karena ketidaksesuaian iklim,
seperti gandum ataupun kurma.
Makanan pokok orang Indonesia adalah
nasi atau biasa disebut beras. Hampir segala penjuru masyarakat Indonesia
mengkonsumsi beras. Pada mulanya tidak semua daerah menggunakan beras sebagai
makanan pokok. Daerah Indonesia Timur memiliki sumber makanan pokok berupa
sagu. Hal itu sepertinya telah menjadi cerita masa lalu, dewasa ini masyarakat
Maluku sudah mulai mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok mereka. Di Papua,
kota Merauke telah menjadi lumbung padi dan diupayakan untuk memenuhi kebutuhan
beras di wilayah Indonesia Timur.
Sebuah ironi terjadi di negri ini.
Pada prinsipnya Negara ini memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan
panganya sendiri, namun yang terjadi adalah maraknya kegiatan impor yang
seharusnya tidak perlu dilakukan atau perlu dilakukan efisiensi. Tentu hal ini
akan menambah beban pengeluaran belanja Negara, disamping adanya fee impor yang
masuk ke kas pendapatan dari sector pajak. Sekarang pertanyaanya, apakah memang
impor perlu dilakukan untuk memenuhi beberapa kebutuhan pangan di negri ini?
Jawabanya bisa Ya, ketika bahan pangan tersebut tidak dapat kita produksi di
dalam negri. Dan Tidak, ketika bahan pangan tersebut dapat kita penuhi sendiri.
Bahan
pangan seperti beras, jagung, ketela, kacang-kacangan, daging dan bebrapa hal
lainya merupakan komoditas pangan yang pada dasarnya kita bisa penuhi sendiri.).
Beberapa bahan pangan terpaksa harus kita impor dikarenakan kebutuhan dalam
negri yang tinggi namun pemerintah khususunya departemen terkait tidak mampu
memenuhi kebutuhan tersebut dikarenakan produksi bahan pangan yang terbatas.
Catatan yang sungguh mencengangkan adalah terkait impor beras. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai
impor Indonesia selama Agustus 2012 mencapai US$13,87 miliar, naik 8,02
persen dibanding impor Agustus 2011 (year on year/YoY) sebesar US$15,08 miliar.
Besaran total mencapai 1.033.794.255 kg.
Sebuah pernyatan menarik dari Mentri Perdagangan Indonesia “Kalau bisa kurangi konsumsi beras dari 140 kilo gram
menjadi 100 kilo gram. Sudah 40 kilo gram itu. Itu bila dikalikan dengan jumlah
penduduk sekitar 250 juta, kita bisa sampai surplus kalau dikurangi,” kata Gita
kepada wartawan di Kementerian Perdagangan, (31 Agustus 2012 KOMPAS.com)
Usaha untuk
mengurangi konsumsi beras dapat ditempuh berbagai cara salah satunya adalah
program diversifikasi pangan. Program ini sudah berjalan, namun beberapa
kalangan masyarakat masih mengandalkan beras sebagai makanan pokok mereka. Hal
yang perlu diperhatikan adalah, tidak semua masyarakat mampu meninggalkan beras
sebagai makanan pokok mereka sehari-hari. Tentunya kita perlu bertindak bijak
untuk menyiasati hal tersebut. Masyarakat tidak dapat dengan mudahnya mengganti
pola makan, untuk menuju cita-cita diversifikasi pangan diperlukan sebuah
langkah rintisan yang tidak membebani masyarakat dalam hal mengkonsumsi beras.
Suatu tindakan nyata untuk mewujudkan swasembada beras adalah dengan melakukan
efisiensi konsumsi terhadap beras. Tentu bukan membatasai takaran porsi, namun
lebih memberikan pemahaman lebih terkait pemborosan yang kita lakukan dalam hal
konsumsi beras.
Mari berandai-andai! Jika tiap kepala rakyat Indonesia yang makan sepiring
nasi menyisakan sebutir nasi di piringnya, berarti tiap kali waktu makan, ada
250.000.000 butir nasi terbuang. Jika setiap orang rata-rata makan tiga kali
sehari, berarti ada 750.000.000 butir nasi yang terbuang percuma tiap hari.
Kita tahu, satu butir nasi sama dengan satu butir beras. Dari penelitian
diketahui, tiap satu kilo gram beras rata-rata berisi 50.000 butir biji padi.
Jika tiap hari ada 750.000.000 butir nasi yang terbuang, maka tiap hari ada
15.000 kilo gram beras terbuang percuma. Jika tiap satu kilo gram beras setelah
dimasak cukup untuk mengisi 10 piring nasi, dan tiap piring nasi cukup untuk
makan satu orang, maka tiap hari sisa makanan yang terbuang itu cukup untuk
memberi makan 150.000 orang dalam sekali makan. Dan jika tiap orang makan tiga
kali sehari, maka nasi yang terbuang itu, cukup untuk memberi makan 50.000
orang perhari. Luar biasa bukan?
Dari
fakta di atas dapat ditarik sebuah fenomena unik, bahwa ternyata kebutuhan
beras dalam negri dapat terpenuhi dengan catatan adanya efisiensi dalam
mengkonsumsi beras. Ketika kita dapat meminimalisir residu yang ada kita dapat
menghemat beban Negara yang diperuntukan untuk mengimpor beras. Sebuah political will rasanya perlu untuk
menekan besaran pemborosan yang dilakukan besar-besaran dan itu terjadi setiap
tahun. Namun tentu saja sebuah kebijakan pemerintah akan berjalan seperti yang
sudah-sudah, memerlukan sebuah kajian dan proses yang panjang. Tentunya hal
tersebut bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk mengurangi besaran laju
pemborosan yang terjadi setiap tahunnya.
Sebuah tindakan yang arif dan
bijaksana ketika upaya penghematan itu berawal dari lingkungan terkecil.
Tindakan nyata dalam pola keseharian kita dapat dilakukan dari masing-masing
individu, keluarga hingga masyarakat. Sebuah efisiensi terkait pemborosan
pangan perlu dilakukan, dan hal tersebut dapat dimulai dari diri kita sendiri.
Sebuah langkah bijak ketika kita mencoba menghemat pemborosan itu dengan sebuah
tindakan nyata dapat dicontohkan berupa mencukupi porsi makan dan menghabiskan
segala hal yang tersaji selama itu dapat dikonsumsi. Sebuah langkah yang tidak
membatasi namun justru menganjurkan untuk dapat berperilaku selayaknya manusia
sesuai dengan kebutuhannya.
Sebuah Gerakan Sosial bernama “Ambil
Cukup dan Habiskan !” akan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi laju
pemborosan luar biasa khususnya dalam bidang pangan. Secara luas, gerakan ini
nantinya akan menjadi tonggak sebuah cita-cita bangsa, ketika pola konsumsii
masyarakat Indonesia mendukung swasembada pangan, untuk mencapai keadaan
ketahanan pangan dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan. Gerakan ini
menganjurkan kepada segenap masyarakat Indonesia untuk memperbaiki kebiasaan
mengkonsmsi pangan. Kebiasaan menghambur-hamburkan makanan telah menjadi hal
yang lumrah sebagaimana kita jumpai, baik dari kita pribadi maupun orang lain.
Dalam segala sendi kehidupan baik nilai-nilai social, agama ataupun norma
menyisakan makanan merupakan suatu hal yang dianggap tidak sopan ataupun tidak
baik. Gerakan ini selaras dengan semangat berbagai bidang untuk membentuk suatu
karakter bangsa yang lebih mandiri, berkedaulatan, adil dan makmur. Gerakan
yang menekankan kepada segala kalangan dan tingkatan umur untuk dapat
mengkonsumsi bahan makanan secukupnya, sesuai dengan kebutuhan tubuh pada
kondisi tertentu dan menghabiskan tanpa sisa segala hidangan makanan yang telah
tersaji ataupun dihidangkan.
Langkah-langkah mudah yang bias kita
lakukan :
Mencukupkan porsi makan kita sesuai dengan kondisi
tubuh.
Menghabiskan tanpa sisa makanan yang kita konsumsi.
Makan sebaiknya dilakukan bersama-sama, jika merasa
porsi makanan berlebih dapat menawarkan kepada rekan atau teman untuk
menghabiskanya.
Untuk lingkungan rumah tangga, sebaiknya memasak
makanan disesuaikan sesuai porsi jumlah anggota keluarga.
Sebuah langkah besar, dimulai dari hal yang kecil, dari
sekitar kita, dari saat ini dan dari diri sendiri.
SALAM : AMBIL CUKUP DAN HABISKAN !
International Association of Student in Agricultural and
Related Sciences
Local Committee University Gadjah Mada
sumber : http://iaaslcugm.blogspot.com